Catetan Cinta Friendzone #6 (Luka Tak Berdarah)

/
0 Comments


Luka Tak Berdarah

            Sore 20 menit sebelum jam pulang, seluruh anak kelas XII dikumpulkan di lapangan. Kali ini ada pengumuman, ya tentu saja khusus untuk anak kelas XII. Pak Lukman membuka pembicaraan.

          “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.. Selamat sore anak-anak, cuma sekedar mengingatkan kembali bahwa minggu depan kita akan mengadakan study tour. Seluruh anak IPS akan ke Jakarta, bandung dan Yogyakarta, sedangkan dua hari setelahnya akan disusul oleh anak IPA yg didampingi oleh bu Juhaini dan kawan-kawan. Jadi persiapkan segala keperluan dan perlengkapan yg sudah tertera pada list barang yg harus dibawa. Jangan ada yg tertinggal..!!” intonasinya cukup jelas, suaranya yg memang keras ditambah lagi dengan pengeras suara sehingga tak ada kata atau kalimat yg terdengar rancu.

          “Dan satu lagi, anak IPS akan didampingi oleh saya sendiri beserta teman-teman. Saya harap kalian semua dapat menikmati perjalan ini dan mendapatkan pelajaran yg berharga di dalamnya. Sekali lagi, untuk melancarkan perjalanan, tolong seluruh peraturan dipatuhi. Terimakasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabaraakatuh..!!” pak Lukman menutup pengumuman dan seluruh siswa-siswi dibubarkan.

***

          “Bagaimana keadaan Fitria bun.??” Sapanya kepada ibu Fitria saat ia mampir sewaktu pulang sekolah.

          “entah lah nak,” kepalanya tertunduk, ia tak tahu apa yg terjadi dengan putri kesayangannya itu. “dia tak mau makan. Coba nak Gina lihat dulu sebentar. Bujuk dia ya nak..” lanjutnya penuh harap.

          “iya bundo, Gina coba lihat dulu.. permisi bun..” sambil berjalan menaiki setiap anak tangga ke lantai dua, menuju kamar Fitria. 

          Dihelanya perlahan napas dari hidung kemudian kembali dikeluarkannya dari hidung pula, mengatur nafas dan akhirnya mengetuk pintu kamar sahabatnya itu. Tok.. tok.. tok..!!  “Fitri.. ini saya, Gina..” harusnya ia tak perlu menyebut namanya, tentu saja Fitria sangat mengenali suaranya itu. “boleh saya masuk..??” sambungnya.

          “iya..!!” sahut Fitria dari balik daun pintu itu. Suaranya agak serak, mungkin karena seharian belum sepatah kata pun yg keluar dari pita suara itu. Gina masuk dan duduk di sampingnya yg juga duduk di pinggir ranjangnya itu.

          “tadi kita dapat tugas kelompok dari ibu Rahma, disuruh ngerjain studi kasus yg ada pada halaman 89..” ya, mungkin ini awal percakapan yg baik. Dimulai dengan basa-basi. “tentu saja kita sekelompok. Aku, Rina, Awan dan Umar..” dan ia baru sadar kalau Fitria sedang tidak memperhatikannya.

          “tadi kelompoknya enggak ditentuin sama ibunya sih, jadi kami sepakat deh masukin kamu kedalam kelompok. Tentu saja karena kamu jago pelajaran Kimia, hehehe..” ah, biarkan saja. Ia tak peduli meski Fitria tak menanggapi ceritanya barusan. “kamu sudah makan..??” lanjutnya.

          Fitria menggeleng, “lho, kok belum..??” setengah kaget, Gina seolah tidak tahu-menahu masalah temannya yg sedang mogok makan itu. Sayangnya Fitria tak peduli. “sejak tadi pagi belum makan..!?” ekspresi Gina masih dibuat seolah tak percaya. Fitria mengangguk. “wah.. kok belum..?? yaudah, kamu makan dulu ya.. biar ku ambilkan nasinya..” ia berdiri dan meninggalkan Fitria di kamar sendiri.

          Bundo yg sedari tadi menguping dibalik daun pintu segera bergegas ke dapur mengambilkan makanan untuk putri kesayangannya itu. Belum sempat Gina berkata apa-apa bundo sudah memberikannya sepiring nasi, “terimakasih nak, kami dari tadi pagi sudah lelah membujuknya untuk makan..” dengan menyematkan senyum, senyum khas seorang ibu.

          “iya bun, Gina masuk lagi ya..” sambil mengangkat sepiring nasi dan segelas mineral, membalas seyum bundo.

***

          “emm, mulai minggu depan dan seminggu kedepannya sekolah kita akan sepi..” matanya tetap fokus kepada sendok dan mendekatkannya ke mulut Fitria. “kau tahu kenapa.??” Ia berharap gadis itu akan menjawab ‘tidak’, sayangnya Fitria hanya menggeleng. Tak masalah, yg penting masih ada feed back. “karena semua anak kelas XII akan berangkat study tour ke jakarta, bandung dan Jogja..” sambungnya.

          “eh, bagaimana dengan tanganmu.?” Telunjuk Gina menunjuk sikut sebelah kiri Fitria yg masih dibalut perban. “masih sakit..??” sambungnya, gadis itu hanya mengangguk.

          “kamu sudah minum obat kan.??” untuk yg kesekian kalinya ia bertanya, ia tak peduli meskipun hanya menerima jawaban berupa anggukan dan geleng dari gadis itu. Lagi-lagi Fitria menggeleng. “astaga... kenapa belum.?? Yasudah, kamu minum obat dulu ya..” diletakkannya piring yg separuh isinya sudah masuk ke perut Fitria itu ke atas meja (tentu saja Fitria lapar, sejak tadi pagi belum sesuap makanan pun yg masuk ke perutnya) dan mengambil obat yg juga terletak diatas meja yg sama.

          Gina mengambil dua butir pil yg berbeda dan menyodorkannya kepada Fitria dengan segelas mineral, tentu saja ia tak perlu membantu gadis itu untuk meneguk 2 butir pil tersebut. “nah, minum lah..” sambungnya.

          “ih.. rambutmu kok berantakan gitu sih.. jelek tau..” lanjutnya sambil meraih cangkir yg nyaris kosong itu dari tangan Fitria. Gina mengambil sisir yg ada di meja rias, kemudian mendekati Fitria yg masih duduk mematung di pinggir ranjang.

          Di sisirnya rambut sahabatnya itu, satu kali, dua kali, tiga kali, tangan kanannya membenarkan poni Fitria dan, “ASTAGAA..!!” Gina tersentak kaget setelah merasakan panas dari kening sahabatnya itu. “kamu demam ya..??” sebenarnya tak perlu ditanyakannya hal itu, tentu saja jawabannya tetap satu. Iya.

***

          Fisik memang erat hubungannya dengan otak, setiap organ dari tubuh manusia bekerja atas perintah otak. Begitu juga dengan keadaan Fitria saat ini, otaknya sedang kusut sedangkan hatinya terbakar api cemburu. Tentu saja hal itu berpengaruh buruk terhadap fisik. Menurunkun selera makan sehingga menjadikan fisiknya semakin lemah.

          Sebenarnya ingin rasanya ia pergi ke sekolah, tapi karena moodnya sedang buruk ditambah lagi fisiknya yg lemah menjadikannya mengurungkan niat tersebut. Ia berfikir buat apa ke sekolah jika ujung-ujungnya hanya melamun sedang fisiknya sedang tak fit, tangan kirinya masih di perban sedang tangan kanannya masih sulit digerakkan karena terkilir.

          Togar terlalu keras menyentak tangan kanannya kemarin. Atau sebaliknya, jika Togar tak melakukan itu ia akan ter serempet oleh tronton tua itu. Ah, tak apa terkilir dibanding terkena serempet benda besar dengan laju bak kilat itu. Apa jadinya kalau seandainya Togar tak menarik lengannya waktu itu, tentu saja kejadian naas akan terjadi.

***

Selanjutya >> Catetan Cinta Friendzone #7




You may also like

Tidak ada komentar:

POSTINGAN MENARIK LAINNYA

EDY SUTERA JAYA. Diberdayakan oleh Blogger.